Setelah bulan Juni kemarin, saya pergi ke daerah Jawa Tengah yang dapat dibaca di https://bellazoditama.wordpress.com/2012/06/14/catatan-perjalanan-eksplorasi-jawa-tengah/, akhirnya saya kembali ke Jawa Barat, dan Garut serta Kamojang menjadi daerah tujuan saya selanjutnya.

Dengan ditemani oleh seseorang yang kebetulan asli orang Garut dan dia memang sedang ingin pulang ke rumah, jadilah saya pergi bersama dia dengan menggunakan sepeda motor. Perjalanan Bandung-Garut dengan menggunakan motor kurang lebih 3 jam, melewati  jalan berliku, bukit, dan gunung serta lembah.

Tempat pertama yang saya kunjungi di Garut adalah Candi Cangkuang. Menurut Wikipedia Candi Cangkuang adalah sebuah candi Hindu yang terdapat di Kampung Pulo, wilayah Cangkuang, Kecamatan Leles, Garut. Candi inilah juga yang pertama kali ditemukan di Tatar Sunda serta merupakan satu-satunya candi Hindu di Tatar Sunda.

Untuk masuk ke Candi Cangkuang kalian cukup membayar tiga ribu rupiah. Murah kan? Tapi itu baru masuk ke dalam area Candi Cangkuangnya saja. Kalau kalian ingin melihat Candi Cangkuang dan Kampung Pulo kalian harus menyewa perahu yang memang disewakan disana karena Candi Cangkuang dan Kampung Pulo sendiri berada di sebuah pulau kecil yang dibatasi oleh situ (sungai kecil).

Ketika kalian ingin menyebrang sungai, pastikan geteknya penuh penumpang, jadi ongkos perjalanannya gak terlalu mahal, atau sekalian saja rombongan dengan banyak orang. Kemarin sih, kami berdua membayar 14 ribu rupiah untuk dua orang, pulang-pergi. Saat kesana, kami berdua datang agak pagi, jadi lumayan lama menunggu sampai geteknya agak penuh. Oiya sekedar intermezzo, ketika getek berangkat saya bersama dengan sebuah keluarga dengan lima orang anggota (anaknya ada tiga) dan benar-benar menggambarkan keadaan keluarga saat ini. Ayah, Ibu, dan anak pertamanya memegang Blackberry keluaran terbaru, si Ayah membawa kamera DSLR dengan lensa yang panjang, si anak pertama agak kurang sopan dengan orang tuanya, dan dia malah asik sendiri dengan I-Pod-nya. Ah, kehidupan.

Perjalanan dengan menggunakan getek sekitar 10 menit, dan mata kalian akan dimanjakan oleh pemandangan hijau dan alam yang begitu bersahaja.

Kembali ke daratan. Selamat datang di Kampung Pulo dan melihat Candi Cangkuang secara langsung. Disana kalian juga akan menemukan berbagai macam toko souvenir dan tempat makan bertenda untuk tempat istirahat. Kalau kalian punya uang berlebih, bantu mereka dengan membeli barang-barang itu ya. 🙂

Saya tidak memiliki informasi yang cukup tentang Kampung Pulo. Namun setelah menjejaki sendiri ke kampung itu, mengingatkan saya dengan Kampung Naga, karena memiliki bentuk bangunan yang agak mirip (maaf kalo sotoy). Kampung Pulo memiliki sebuah Masjid dan enam rumah dan ternyata tidak boleh ditambah atau dikurangi jumlahnya.

Dan sampailah di tempat yang ditunggu-tunggu. Candi Cangkuang. Candi Cangkuang sendiri sudah terlihat ketika kalian berada di atas getek. Awalnya saya sedikit bingung, karena saya pikir Candi Cangkuang itu besar, ternyata hanya ada satu candi yang berdiri. 😛

Di sekeliling kompleks Candi dan Kampung Pulo banyak terdapat makam-makam. Entah itu makam siapa. Disana juga terdapat sebuah makam yang dikeramatkan yang merupakan salah seorang penyebar agama Islam disana. Sayangnya saya lupa siapa namanya -__-

Selesai mengelilingi Candi Cangkuang, Kampung Pulo dan sebagian kota Garut saya pergi ke Kamojang, ke tempat seorang teman SMA saya melakukan PKL (praktek kerja lapangan) di Pertamina. Setelah seharian tadi ditemani, ke Kamojang saya pergi sendiri dengan menggunakan angkot. Sungguh saya takut, karena saya nggak bisa bahasa Sunda, dan saya itu memiliki kecenderungan disorientasi tempat, jadi bolak-balik harus diingatkan.

Sebelum ke Kamojang, saya naik sebuah angkot berwarna hijau menuju ke Terminal Samarang. Dan terminal Samarang itu membuat saya ingin berteriak, “WOOOOOOOWWWW” karena tidak seperti terminal, terminal Samarang itu memang lebih mirip pasar tradisional, dan memang ada pasar segala disana.

Untuk sampai ke Kamojang, saya harus menaiki satu angkot lagi. Tidak seperti angkot hijau yang membawa saya ke Samarang, angkot yang saya naiki itu bukan mobil, melainkan pick-up yang didesain sedemikian rupa hingga berbentuk seperti ”angkot”. Satu “angkot” itu bisa menampung berbagai macam mulai dari orang, belanjaan dari pasar hingga potongan kayu. 😐 Tidak heran, karena angkotnya sendiri hanya beroperasi hingga jam 3 sore, dan tidak ada setiap jam, jadi penumpang juga harus berdesak-desakan.

Perjalanannya sendiri memakan waktu satu jam dengan melewati hutan, dan perkebunan.

Sampai di Kamojang, mata saya dimanjai oleh berbagai macam logo Pertamina. Ternyata oh ternyata memang ada PLTP (Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi) milik pertamina disana. Jalanan kesana pun sudah beraspal dan halus, bahkan jalanan Bandung kota kalah.

Meskipun ada PLTP salah satu BUMN disana, ternyata menurut saya pribadi kesejahteraan masyarakat Kamojang, khususnya kecamatan Ibun itu ternyata jauh dari kata layak dan beruntung. Sempat saya dan teman saya memutar keliling rumah, dan kami melihat banyak masyarakat yang memang hidup di bawah garis kemiskinan, dan hanya mengandalkan mata pencaharian sebagai petani dan pencari kayu bakar. Realita…

Berada di dataran tinggi, Kamojang ini sangat dingin sekali ketika malam hari. Meski saya sudah biasa dengan hawa dingin selama tinggal di Bandung, kedinginan ketika malam di Kamojang tidak bisa saya hindari.

Untuk makan sih, kalian tidak perlu khawatir, karena disana banyak warung-warung nasi yang bisa kalian pilih. Namun, selama disana saya hanya makan di satu warung yang kata teman saya namanya warung pojok, karena menurut teman saya cuma warung itu yang bersih dibandingkan tempat yang lain. Harga makanannya sih hampir sama dengan harga makanan di Bandung, sekitar 8 ribu – 13 ribu.

Minggu pagi menjelang siang, saya “turun” ke Garut dengan teman saya, untuk mengambil uang sekaligus saya pulang ke Bandung. Kami berdua sedikit mengelilingi kota Garut yang ternyata hampir mirip dengan Bekasi karena banyak kios-kios, becak, dan bangunan-bangunan. Tapi bedanya, kami sulit menemukan ATM sampai harus bertanya ke beberapa orang untuk mengetahui lokasi ATM. :))

Karena tidak mengerti dengan rute angkutan umum disana, dan teman saya itu “ngidam” makan KFC, jadilah kami berdua pergi ke Ramayana dengan menggunakan becak. Cukup membayar 5 ribu dari alun-alun Garut kami sampai ke Ramayana. Tidak seperti di Bandung atau di kota-kota lain, outlet KFC berada di dalam Mall, atau bangunan sendiri, KFC di Garut itu menggunakan mobil dan berada di area parkir mobil Ramayana. Unik sekali.

Selesai makan, kami berdua harus berpisah jalan, karena saya harus kembali ke Alun-Alun Garut untuk pulang dengan dia. Hehehe…  Sebelum pulang, saya sempat membeli 3 buah Chocodot, makanan khas dari kota Garut. Harganya lumayan sih 13 ribu/buah, tapi rasanya enak dan namanya aneh-aneh.

Perjalanan pulang berbeda dengan perjalanan berangkat. Saya melihat pemandangan yang indah, yang sayangnya nggak saya bagi disini. Soalnya ada di dalam ingatan sih. 😛

Perjalanan kali ini membuat saya berpikir bahwa kemiskinan itu memang benar-benar sesuatu yang tidak dapat dihindari, dan salah satu bentuk dari kemiskinan itu adalah kebodohan. Sedih… 😦 Mudah-mudahan saya dapat memberikan kontribusi lebih untuk negeri ini walau dengan skala yang masih kecil. Amin…

___

Rencana saya selanjutnya sih bisa ke Jawa Timur, dan Bali… Huhu… Di saat orang-orang menganggap Bali seperti rumah kedua mereka yang selalu dikunjungi setiap ada kesempatan, saya malah belum pernah sama sekali. #pukpukdirisendiri.

Leave a comment